Cok Sawitri Aktivis Bali yang Kritis Terhadap Krisis Air

Cok Sawitri Aktivis Bali yang Kritis Terhadap Krisis Air

COKORDA Sawitri atau Cok Sawitri adalah aktivis perempuan, seniman, dan juga sastrawan kelahiran Sidemen, Karangasem, Bali, 52 tahun silam.

Mbok Cok, sapaannya, melahirkan banyak karya seni, di antaranya lahir dari kegelisahannya terhadap krisis air di Bali.

Penyair yang juga penulis novel Janda dari Jirah (2007) dan Tantri, Perempuan yang Bercerita (2011) ini banyak berkontribusi terhadap upaya pelestarian budaya lokal Bali. Novel Janda dari Jirah (2007) bahkan menyabet penghargaan Khatulistiwa Literary Award (KLA) pada 2007.

Selain novelis, ia juga produktif menulis artikel, esai, puisi, dan cerita pendek. Berbagai karyanya telah terbit di media cetak maupun elektronik.

Pada 1997, ia mendirikan Forum Perempuan Mitra Kasih Bali sebagai wadah bagi perempuan Bali untuk bersosial dan berdiskusi. Ia juga merupakan tonggak berdirinya Kelompok Tulus Ngayah Bali yang berdiri sejak 1989. Kelompok ini melakukan upaya pelestarian kain tenun asli Bali yang meliputi pelestarian tanaman pewarna alamiah dan tanaman penghasil kapas.

Cok Sawitri Aktivis Bali yang Kritis

Salah satu fokus Cok saat ini adalah mengenai krisis air https://penginapandieng.com/ yang sudah mulai dirasakan oleh masyarakat. Salah satu indikator krisis air di Bali, kata Cok, adalah rasa air yang sudah payau di sumur resapan sekitar pantai.

“Secara global masalah air ini, kan krisis di mana-mana, sebenarnya, ada sumur-sumur resapan di sekitar pantai-pantai yang digunakan untuk pariwisata itu, udah mulai rasa payau,” katanya saat menjadi pembicara pada webinar “Mengatasi Krisis Sosial-Ekologi Melalui Pendekatan Seni Budaya dan Inklusi Sosial” yang diselenggarakan The Samdhana Institute, Senin, 30 November 2020.

Dalam webinar kedua dari serial CangKir KoPPI (Berbincang dan Berpikir Kreatif Kelompok Perempuan dan Pemuda Inspiratif) tersebut, Cok memaparkan bahwa ketersediaan sumber air jumlahnya sudah semakin sedikit.

“Kita itu punya cadangan air tanah hanya satu, loh, di Bali, itu untuk tujuh kabupaten dan satu kota,” ujarnya.

Salah satu karyanya yang lahir dilatarbelakangi kekritisannya terhadap ketersediaan air adalah sebuah monolog “Perempuan dan Air” yang diselenggarakan di Bentara Budaya, Ketewel, Gianyar pada 18 Maret 2017.

Monolog berupa pementasan Arja Siki “Kampanye Calon Gubernur Air” tersebut merupakan bentuk pemaknaan perayaan hari perempuan internasional dan media untuk menyuarakan isu krisis air yang ada di Bali.

Persiapan pementasan tersebut, kata Cok, sangatl singkat. “Itu dadakan banget, tapi proses kreatif saya cukup lama,” ujarnya.

Berkolaborasi dengan Andrian Tan, Cok Sawitri menggunakan tiga Bahasa, yaitu bahasa Bali, Indonesia, dan Bahasa Inggris dalam karya tersebut.

Selain Cok Sawitri, ada tiga seniman lainnya tampil sebagai pembicara dalam acara yang dimoderatori Bunga Manggiasih dari Koalisi Seni Indonesia. Mereka adalah Slamet Diharjo di Banyuwangi, Jawa Timur, Mila Rosinta di Yogyakarta, dan Iqbal H. Saputra di Belitung, Provinsi Bangka Belitung.

Webinar dibuka Direktur Jenderal Kebudayaan Kemdikbud Dr. Hilmar Farid dan pengantar oleh Wakil Direktur Eksekutif The Samdhana Institute Martua T. Sirait.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *